Umumnya para pemohon
televisi lokal dalam pengajuan izinnya bertekad mengusung kepentingan daerah
dan memberi ruang bagi pengembangan kebudayaan daerah dalam rencana kegiatan
siarannya.Sebuah cita-cita yang harus diapresiasi dan didukung.Sayangnya,
menggeliatnya perkembangan televisi lokal tidak seindah yang
dibayangkan.Televisi lokal yang sudah beroperasi banyak yang berjibaku dengan
masalah internalnya, dari persoalan buruknya manajemen, baik manajemen sumber
daya manusianya maupun manajemen keuangannya, hingga pada persoalan sulitnya
mendapatkan share iklan.
Banyaknya masalah yang
dihadapi oleh industri televisi lokal menuntut perhatian dan upaya untuk
mengatasinya.Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator penyiaran,
melainkan juga menjadi tanggung jawab pengelola televisi lokal itu sendiri.Dari
sudut regulator diharapkan ada regulasi atau kebijakan yang memihak terhadap
tumbuh kembangnya televisi lokal.
Pengaruh
Kurang Optimalnya UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 (tentang Kedudukan TV local).
Dasar hukum
UU 32/2002 Pasal 60 ayat (2), yang menyatakan bahwa:
1. Lembaga
penyiaran radio yang
ingin berjaringan, harus bermitra dengan lembaga penyiaran radio lain; tenggat
waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2004
2. Yang
sudah memiliki relai di
satu daerah, lembaga penyiaran radio bisa menggunakan stasiun relainya hingga
2006, sampai berdirinya stasiun lokal berjaringan di daerah tersebut
3. Lembaga
penyiaran televisi yang ingin berjaringan, harus bermitra dengan lembaga
penyiaran televisi lain; tenggat waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2005
UU Penyiaran no. 32 tahun
2002, pasal 6
1. Penyiaran
diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.
2. Dalam
sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai
spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Dalam
sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang
adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan
stasiun lokal.
4. Untuk
penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran
Dari perspektif Otonomi
Daerah, kehadiran televisi lokal dapat mengurangi sentralisme informasi dan
bisnis. Lewat televisi lokal dan televisi berjaringan, pemirsa tidak hanya
dijejali informasi, budaya, dan gaya hidup ala Jakarta dan ala Barat. Pemirsa
akan lebih banyak menyaksikan berbagai peristiwa dan dinamika di daerah dan
lingkungannya. Televisi merupakan bisnis yang tidak hanya memerlukan biaya
investasi awal yang besar untuk pengadaan infrastruktur , peralatan produksi
studio dan penyiaran (pemancar dan jaringan transmisi), melainkan juga
memerlukan biaya operasional yang besar, terutama untuk biaya produksi
dan pengadaan (pembelian) program.
Dukungan biaya operasional
yang cukup dan stabil dari pemilik sangat menentukan kemampuan suatu stasiun TV
untuk memproduksi dan menyiarkan program bermutu, menarik, diminati dan
dibutuhkam masyarakat. Dukungan dana tersebut terutama pada tahun-tahun awal
pengoperasiannya sampai mampu mandiri (setelah menguntungkan).
Ketika aturan baru
pertelevisian berlaku.Ketika itu, ada aturan yang mengkodefikasi penyebutan
semua stasiun televisi sebagai stasiun televisi lokal. Lalu ada juga aturan
yang mengarahkan bahwa televisi yang hendak menyebarluaskan siarannya ke daerah
lain, sebaiknya menjalin kemitraan strategis dengan televisi lokal setempat,
berupa kerjasama durasi siaran, tentunya setelah melalui pembicaraan yang
setara.
Belakangan kebijakan itu
disalahartikan.Beberapa pemilik televisi bermodal besar melakukan roadshow ke
televisi-televisi lokal, dengan tujuan akuisisi terbatas. Harapannya, mereka
nantinya akan afiliatif dengan televisi lokal, berupa penyertaan modal. Ini
model klaim sepihak. Sebab penyertaan modal terbatas akan dianggap sebagai kepemilikan
saham. Padahal modal dan saham dalam konteks korporasi berbeda
pengertiannya.Jika hanya menanamkan modal, bisa saja Anda menolak sebagai
bagian dari penentu kebijakan internal.Dan maksud mereka sengaja hendak
didorong ke arah penguasaan sepihak.Padahal alasannya sepele, sekadar untuk
menyebarluaskan siaran, tanpa harus membangun infrastruktur mahal seperti tower
relay.Niatan ini terbaca, dan banyak pemilik televisi lokal yang mengetahuinya,
kemudian menolak skema itu.
Artinya, stasiun-stasiun
televisi besar tidak perlu mengeluarkan modal untuk membangun tower relay,
cukup meminta pemerintah menyederhanakan aturan dan membuang batasan pada
bisnis televisi kabel tadi, maka klaim-klaim mereka atas coverage area dapat
dijual pada pengiklan.
Ilustrasinya seperti ini;
jika sebuah produk hendak beriklan melalui media televisi dengan target sasaran
masyarakat di seluruh Indonesia, maka pemilik produk tak perlu repot mendatangi
satu per satu televisi lokal yang ada di daerah. Cukup pasang iklannya di salah
satu televisi besar di Jakarta, dan dengan segera iklannya akan disimak orang
se-Indonesia, dengan bantuan televisi kabel, tentunya.
Model tower relay ini juga
sangat mencemaskan, dan secara langsung menggerus pangsa penonton televisi
lokal.Seolah-olah, pemerintah membiarkan sebuah pertarungan yang tidak
seimbang, antara televisi berskala nasional bermodal padat, dengan televisi
daerah bermodal lunak.
Kurang tegasnya pemerintah
dalam merealisasikan UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 (tentang Kedudukan tv
lokal), berdampak sistematis terhadap kelanjutan hidup Tv local itu sendiri.
Sebagai contoh, FAVORIT TV atau yang lebih kita kenal dengan FATIVI ,sebagai
stasiun televise lokal yang berada di daerah Padang,Sumatera Barat.Sangat
merasakan dampak lansung negative dari hal ini. Hal ini terlihat jelas dalam
hal pendapatan stasiun tv , dimana satiun tv di daerah tidak mendapatkan
pendapatan yang menguntungkan ,bahkan owner dari media itu sendiri sering
merugi dan mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai biaya operasional
yang membengkak. Karena tidak ditunjang oleh pendapatan stasiun tv itu sendiri.
Dengan dibuatanya UU
Penyiaran no. 32 tahun 2002 ,itu merupakan angin segar yang membawa gambaran
positive atas kelangsungan hidup stasiun tv lokal.Karena stasiun televise
nasional diharuskan mempunyai jaringan stasiun tv lokal untuk menyalurkan siran
mereka. Yang artinya stasiun tv lokal mendapatkan pembagian keuntungan dari
setiap bentuk tanyangan yang di tampilkan,baik dari segi iklan maupun
konten-konten lainyan.Tapi pada kenyataannya UU ini belum terealisasi secara
optimal ,dikarenaka bebeapa factor,diantaranya:
1. Terjadi
tumpang tindih antara kewenangan perizinan lembaga penyiaran antara KPI dengan Dekominfo sehingga dari sisi yuridis dan
teknis masih sulit dilaksanakan dilapangan karena belum terbangunnya sistem
secara memadai
2. Terdapat
tantangan yang sistematis dari pihak asosiasi TV nasional. Karena kerjasama
antara TV nasional dengan TV lokal sulit dilakukan
Pada poin no 3,disitu di
sebutkan bahwa belum siapnya stasiun tv lokal ,baik dari segi SDM
maupun segi teknis. Ini memang benar, dari pengamatan yang saya lakukan di
lapangan (FATIVI) mereka belum memiliki SDM yang memadai untuk menjalin
kerjasama dengan stasiun tv nasional. Kurangnya pengalaman , terutama kemampuan
teknis (skill) dasar tentang brodcas yang minim.Serta jumlah tenaga kerja yang
memadai,dalam Fativi mereka hanya berjumlah sekitar puluhan orang saja,mereka
bekerja secara fungsional.Artinya, seorang pegawai bias memiliki dua sampai
tiga job.Sebenarnya ini adalah fenomena yang terjadi akibat tidak terealisainya
UU tadi. Bagaimana sebuah perusahaan bisa mengaji banyak karyawan,jika untuk
jumlah karyawan yan sekaran saja owner dari stasiun tv tersebut harus
menombok.Ini merupakan sebuah realita dan pekerjaan rumah bagi pemerintah
maupun semua individu yang berada pada lingkungan terkait.
Manfaat Dari Realisai Undang-Undang
Penyiaran
1. sistem
stasiun berjaringan ini memiliki manfaat untuk menciptakan sistem penyiaran
yang berkeadilan dan berpihak pada publik. Karena
selama ini dominasi isi siaran televisi dipegang oleh para televisi yang
berlokasi di Jakarta. Bahkan isi siarannya sudah sampai pada level
menghegemoni.
2. sistem
berjaringan mampu mengakomodasi isi siaran lokal sehingga dapat menjadi
pengerem terhadap isi siaran yang memiliki bias kultur, nilai, dan cara pandang
orang yang tinggal di Jakarta. Dengan begitu ada terdapat ruang bagi masyarakat
daerah untuk mengekspresikan hasrat, kepentingan, kultur, nilai, dan cara
pandang orang daerah di ruang publik yang bernama penyiaran. Sehingga tercipta
penyiaran yang berkeadilan mendudukan kepentingan daerah dan kepentingan
Jakarta pada posisi yang setara dan sejajar.
3. Dengan
diberlakukannya sistem ini maka porsi iklan yang jumlahnya triliunan rupiah
yang selama ini hanya dinikmati TV yang ada di Jakarta akan terditribusi ke
televisi-televisi lokal yang ada di daerah. Dengan begitu, pemerataan ekonomi
di bidang penyiaran akan terjadi.
4. Pemerataan
kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam
bidang pertelevisian.
Pengaruh kultur masyarakat
terhadap perkembangan TV local
a. Konten
Primadona televisi lokal
pada umumnya adalah program bermuatan lokal.Mulai dari berita, musik dan
hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga potensi ekonomi lokal.Namun,
dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian cepat, menghadirkan dan
mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi
televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya hidup, terus membombardir alam
pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi ciri kehidupan modern, dan
memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan dibuat tergantung terhadapnya.
Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran acara
televisi yang negatif.Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru, agamawan,
budayawan, memaksa seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun
televisi lokal yang ingin mengangkat budaya daerah harus memiliki idealisme
kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan budaya daerah harus menjalani
kehidupan yang penuh risiko.Tingkat rating yang rendah, bisa mengakibatkan
stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa diperkirakan jika kue
iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal ini ini membawa sebuah
dilema.
Dengan kekuatan itu, jika
program positif semua, televisi lokal bisa menciptakan masyarakat berbudaya
lebih baik.Masalahnya, seringkali tergoda uang, hingga meninggalkan
idealisme.Bukan tak mungkin televisi lokal mengalami hal serupa.
Untuk FATIVI ,karena sadar
bahwa meraka tidak akan bisa menyanigi konten stasiun televise nasional,mereka
juga membuat program tentang berlandaskan kultur masyarakat minang itu sendiri.
Di Padang ada dua kesenian yang sangat digandrungi, yaitu “rabab dan
dendang pauh”.Sehingga mereka juga merealisasikan kedua budaya tersebut
dalam bentuk acara “ galatiak dendang dan rabab se manyampaian “.Ini
juga merupakan perwujudtan dari visi dan misi FATIVI itu sendiri,FATIVI Berita
,Seni , dan Budaya.
b. Finansial
Seperti halnya media massa
lain, televisi lokal memiliki kekuatan sebagai penggerak ekonomi dan dinamika
kebudayaan. Karena itu, televisi lokal sejak dini harus mampu menunjukkan
idealisme yang jelas, tidak hanya berangkat dari idealisme komersial.
Stakeholders yang membangun
sebuah perusahaan media elektronik harus lebih dulu mempunyai idealisme moral
dan spiritual, sebelum sampai pada tingkatan komersial. Jika cita-cita itu
tidak diperjelas sejak awal, akan mempengaruhi perjalanan program tayangan.
Apa pun bentuk idealisme
stakeholders, sebuah media televisi harus digarap secara profesional. Dalam
sistem kerja profesional harus jelas arah yang ingin dicapai.Program juga bisa
ditata secara profesional, tidak setengah-setengah sehingga menjadi kabur dan
kurang menarik. Belum lagi bagaimana tanggapan dari masyarakat atau pasar yang
akan menjadi sasaran program itu.
Selain kepastian idealisme,
idealnya keberadaan televisi lokal harus didukung sebuah jaringan yang kuat.
Dengan jaringan kerja dan bisnis seperti itu, kehadiran sebuah televisi lokal
nantinya tidak sekadar sebagai kelengkapan sebuah peradaban masyarakat kota,
tetapi menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Tantangan terberat yang
dihadapi oleh televisi lokal (swasta) sebetulnya adalah bagaimana menjamin
kelangsungan hidup industri televisi lokal dalam konteks persaingan bisnis
media. Kita tahu, kemunculan sebuah media, tentu akan mengancam (dan diancam)
media lain. Persaingan ini tidak bisa dihindari, karena televisi lokal ini akan
nimbrung dalam perebutan kue iklan yang selama ini diperebutkan oleh media
cetak, radio, dan televisi.
Karena itu perlu
antisipasi, bagaimana menciptakan persaingan yang sehat dan fair.Idealnya,
persaingan mestinya dibangun pada konteks program, content, dan manfaat— bukan
harga spot. Karena saya pernah mendengar informasi, harga spot iklan di sebuah
televisi lokal ‘seharga’ spot iklan di radio. “Pasang iklan di televisi, harga
radio!’
Materi iklan di tv biasa
disebut tv commercials (tvc) atau “spot” yang dibedakan atas durasinya : 60’s,
30’s,15’s dan 10’s. Disamping spot iklan komersial, juga terdapat spot
pelayanan masyarakat atau biasa disebut sebagai public service announcement
(psa).
Ø Time slot
yang belum terjual merupakan atau disebut sebagai “inventory”.
Ø Target
penjualan ditetapkan secara tahunan dan diuraikan dalam tiga
bulanan, bulanan dan mingguan.
Salah satu tugas penting
dari manajer penjualan adalah menetapkan dan menyesuaikan harga iklan (time
slot). Rumus umumnya, harga iklan (tvc) merupakan hasil negosiasi ,
yang berhasil menjual paling banyak spot dengan harga tertinggi adalah
pemenang. Namun pedoman penjualan tetap harus dimiliki oleh setiap
stasiun penyiaran komersial atau stasiun yang menyiarkan iklan, yakni berupa
rate card. Harga yang tercantum dalam rate card inilah yang dalam
prakteknya dinegosiasikan dengan pemberian diskon atau bonus tertentu dan
fasilitas lainnya yang menarik bagi pemasang iklan.
Dari penjabaran di
atas dapat di tarik gambaran umum bagaiman susahnya sebuah stasiun tv lokal
untuk bisa mendapatkan keuntungan finansial dari iklan . Ditambah lagi kultur
masyarakat suatu daerah itu,seperti di Padang ,masyarakat pada umumnya belum
mengenal fungsi iklan sebagai sebuah proses promosi itu secara utuh
.Mereka mengagap iklan hanya buang-buang uang.Dikarena ruang lingkup perusahaan
yang kecil dan hasil nyata yang diproleh dari iklan. Ini terlihat dari tampilan
iklan yang terkesan datar, dan seperti baliho saja Ini berdampak lansung
pada tarif iklan pada stasiun tv.
Kecilnya tarif iklan
per spot pada stasiun tv ,berpengaruh pada kelangsungan stasiun tv itu
sendiri.FATIVI, untuk mengurangi pembengkakan biaya operasional mereka hanya
tanyang premer stiap harinya pada pukul 18.30-23.00,untuk tanyangan lainnya
mereka merelay tanyangan stasiun tv lain ( ABN,TV E,SKYVINDO) yang terikat
kerjasam dengannya.
3. Eksistensi
TV Lokal
Dalam konteks sosial
budaya, televisi lokal bisa menjadi harapan dan “benteng terakhir” ketahanan
bangsa. Selama ini kita merasakan serbuan kapitalisme global dan budaya luar
begitu kuat menyeruak-masuk lewat televisi nasional yang bekerja sama dengan
televisi asing.Televisi ini mempunyai ”dosa besar” dalam mengikis kebudayaan
lokal, melalui gempuran acara yang membawa nilai-nilai yang tidak sesuai
nilai-nilai yang dianut selama ini.
Gempuran acara televisi
nasional yang negatif ini harus disikapi.Pada posisi ini, televisi lokal punya
peluang membawa nilai-nilai luhur budaya daerah, dengan mengangkat budaya dan
kearifan lokal (local genius) yang hidup dan berkembang di masyarakat. Di sana
akan terjadi proses pembelajaran dan penanaman nilai-nilai (positif) budaya
lokal. Televisi lokal menjadi harapan, Jika tidak ada orang yang memulai
program televisi yang mengangkat budaya daerah, dikhawatirkan budaya itu akan
makin luntur dan tidak dikenal generasi muda.
BAB III
Kesimpulan
Primadona televisi lokal
pada umumnya adalah program bermuatan lokal.Mulai dari berita, musik dan
hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga potensi ekonomi lokal.Namun,
dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian cepat, menghadirkan dan
mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi
televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya hidup, terus membombardir alam
pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi ciri kehidupan modern, dan
memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan dibuat tergantung terhadapnya.
Masyarakat pun tampaknya
tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran acara televisi yang
negatif.Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru, agamawan, budayawan, memaksa
seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun
televisi lokal yang ingin mengangkat budaya daerah harus memiliki idealisme
kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan budaya daerah harus menjalani
kehidupan yang penuh risiko.Tingkat rating yang rendah, bisa mengakibatkan
stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa diperkirakan jika kue
iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal ini ini membawa sebuah
dilema.
TV Lokal sangat penting
untuk memiliki tenaga programming dan tenaga penjualan yang kuat ,
terdidik dan terampil dibawah supevisi manajer program dan manajer penjualan
yang menguasai bidangnya. Bagi stasiun yang tidak mau mengambil risiko rugi
besar tentu telah mempersiapkan kedua kelompok tenaga tersebut jauh-jauh hari
sebelumnya. Tidak mengherankan bahwa stasiun televisi jaringan (TV Swasta Nasional)
yang tergolong sukses saat ini - berpusat di Jakarta -
semuanya menggunakan jasa konsultan dan disupervisi tenaga ahli berpengalaman
pada tahun-tahun awal pengoperasiannya. Mereka benar, karena bisnis televisi
hanya memberikan dua opsi yaitu: untung besar atau rugi besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar