Minggu, 18 November 2012

Dilema TV Lokal




Umumnya para pemohon televisi lokal dalam pengajuan izinnya bertekad mengusung kepentingan daerah dan memberi ruang bagi pengembangan kebudayaan daerah dalam rencana kegiatan siarannya.Sebuah cita-cita yang harus diapresiasi dan didukung.Sayangnya, menggeliatnya perkembangan televisi lokal tidak seindah yang dibayangkan.Televisi lokal yang sudah beroperasi banyak yang berjibaku dengan masalah internalnya, dari persoalan buruknya manajemen, baik manajemen sumber daya manusianya maupun manajemen keuangannya, hingga pada persoalan sulitnya mendapatkan share iklan.
Banyaknya masalah yang dihadapi oleh industri televisi lokal menuntut perhatian dan upaya untuk mengatasinya.Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator penyiaran, melainkan juga menjadi tanggung jawab pengelola televisi lokal itu sendiri.Dari sudut regulator diharapkan ada regulasi atau kebijakan yang memihak terhadap tumbuh kembangnya televisi lokal.


           
   Pengaruh Kurang Optimalnya UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 (tentang Kedudukan TV local).
Dasar hukum
UU 32/2002 Pasal 60 ayat (2), yang menyatakan bahwa:
1.    Lembaga penyiaran radio yang ingin berjaringan, harus bermitra dengan lembaga penyiaran radio lain; tenggat waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2004
2.    Yang sudah memiliki relai di satu daerah, lembaga penyiaran radio bisa menggunakan stasiun relainya hingga 2006, sampai berdirinya stasiun lokal berjaringan di daerah tersebut
3.    Lembaga penyiaran televisi yang ingin berjaringan, harus bermitra dengan lembaga penyiaran televisi lain; tenggat waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2005
UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, pasal 6
1.    Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.
2.    Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3.    Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
4.    Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran
Dari perspektif Otonomi Daerah, kehadiran televisi lokal dapat mengurangi sentralisme informasi dan bisnis. Lewat televisi lokal dan televisi berjaringan, pemirsa tidak hanya dijejali informasi, budaya, dan gaya hidup ala Jakarta dan ala Barat. Pemirsa akan lebih banyak menyaksikan berbagai peristiwa dan dinamika di daerah dan lingkungannya. Televisi merupakan bisnis yang tidak hanya memerlukan biaya investasi awal yang besar untuk pengadaan infrastruktur , peralatan produksi studio dan penyiaran (pemancar dan jaringan transmisi), melainkan juga memerlukan biaya operasional yang besar, terutama untuk  biaya produksi dan pengadaan (pembelian) program.
Dukungan biaya operasional yang cukup dan stabil dari pemilik sangat menentukan kemampuan suatu stasiun TV untuk memproduksi dan menyiarkan program bermutu, menarik, diminati dan dibutuhkam masyarakat. Dukungan dana tersebut terutama pada tahun-tahun awal pengoperasiannya sampai mampu mandiri (setelah menguntungkan).
Ketika aturan baru pertelevisian berlaku.Ketika itu, ada aturan yang mengkodefikasi penyebutan semua stasiun televisi sebagai stasiun televisi lokal. Lalu ada juga aturan yang mengarahkan bahwa televisi yang hendak menyebarluaskan siarannya ke daerah lain, sebaiknya menjalin kemitraan strategis dengan televisi lokal setempat, berupa kerjasama durasi siaran, tentunya setelah melalui pembicaraan yang setara.
Belakangan kebijakan itu disalahartikan.Beberapa pemilik televisi bermodal besar melakukan roadshow ke televisi-televisi lokal, dengan tujuan akuisisi terbatas. Harapannya, mereka nantinya akan afiliatif dengan televisi lokal, berupa penyertaan modal. Ini model klaim sepihak. Sebab penyertaan modal terbatas akan dianggap sebagai kepemilikan saham. Padahal modal dan saham dalam konteks korporasi berbeda pengertiannya.Jika hanya menanamkan modal, bisa saja Anda menolak sebagai bagian dari penentu kebijakan internal.Dan maksud mereka sengaja hendak didorong ke arah penguasaan sepihak.Padahal alasannya sepele, sekadar untuk menyebarluaskan siaran, tanpa harus membangun infrastruktur mahal seperti tower relay.Niatan ini terbaca, dan banyak pemilik televisi lokal yang mengetahuinya, kemudian menolak skema itu.
Artinya, stasiun-stasiun televisi besar tidak perlu mengeluarkan modal untuk membangun tower relay, cukup meminta pemerintah menyederhanakan aturan dan membuang batasan pada bisnis televisi kabel tadi, maka klaim-klaim mereka atas coverage area dapat dijual pada pengiklan.
Ilustrasinya seperti ini; jika sebuah produk hendak beriklan melalui media televisi dengan target sasaran masyarakat di seluruh Indonesia, maka pemilik produk tak perlu repot mendatangi satu per satu televisi lokal yang ada di daerah. Cukup pasang iklannya di salah satu televisi besar di Jakarta, dan dengan segera iklannya akan disimak orang se-Indonesia, dengan bantuan televisi kabel, tentunya.
Model tower relay ini juga sangat mencemaskan, dan secara langsung menggerus pangsa penonton televisi lokal.Seolah-olah, pemerintah membiarkan sebuah pertarungan yang tidak seimbang, antara televisi berskala nasional bermodal padat, dengan televisi daerah bermodal lunak.
Kurang tegasnya pemerintah dalam merealisasikan UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 (tentang Kedudukan tv lokal), berdampak sistematis terhadap kelanjutan hidup Tv local itu sendiri. Sebagai contoh, FAVORIT TV atau yang lebih kita kenal dengan FATIVI ,sebagai stasiun televise lokal yang berada di daerah Padang,Sumatera Barat.Sangat merasakan dampak lansung negative dari hal ini. Hal ini terlihat jelas dalam hal pendapatan stasiun tv , dimana satiun tv di daerah tidak mendapatkan pendapatan yang menguntungkan ,bahkan owner dari media itu sendiri sering merugi dan mengeluarkan uang pribadi  untuk membiayai biaya operasional yang membengkak. Karena tidak ditunjang oleh pendapatan stasiun tv itu sendiri.
Dengan dibuatanya UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 ,itu merupakan angin segar yang membawa gambaran positive atas kelangsungan hidup stasiun tv lokal.Karena stasiun televise nasional diharuskan mempunyai jaringan stasiun tv lokal untuk menyalurkan siran mereka. Yang artinya stasiun tv lokal mendapatkan pembagian keuntungan dari setiap bentuk tanyangan yang di tampilkan,baik dari segi iklan maupun konten-konten lainyan.Tapi pada kenyataannya UU ini belum terealisasi secara optimal ,dikarenaka bebeapa factor,diantaranya:
1.    Terjadi tumpang tindih antara kewenangan perizinan lembaga penyiaran antara KPI dengan Dekominfo sehingga dari sisi yuridis dan teknis masih sulit dilaksanakan dilapangan karena belum terbangunnya sistem secara memadai
2.    Terdapat tantangan yang sistematis dari pihak asosiasi TV nasional. Karena kerjasama antara TV nasional dengan TV lokal sulit dilakukan
3.    Persiapan dari TV lokal yang belum memadai, dari segi teknis maupun sumber daya manusia
Pada poin no 3,disitu di sebutkan bahwa  belum siapnya stasiun tv lokal ,baik dari segi SDM  maupun segi teknis. Ini memang benar, dari pengamatan yang saya lakukan di lapangan (FATIVI) mereka belum memiliki SDM yang memadai untuk menjalin kerjasama dengan stasiun tv nasional. Kurangnya pengalaman , terutama kemampuan teknis (skill) dasar tentang brodcas yang minim.Serta jumlah tenaga kerja yang memadai,dalam Fativi mereka hanya berjumlah sekitar puluhan orang saja,mereka bekerja secara fungsional.Artinya, seorang pegawai bias memiliki dua sampai tiga job.Sebenarnya ini adalah fenomena yang terjadi akibat tidak terealisainya UU tadi. Bagaimana sebuah perusahaan bisa mengaji banyak karyawan,jika untuk jumlah karyawan yan sekaran saja owner dari stasiun tv tersebut harus menombok.Ini merupakan sebuah realita dan pekerjaan rumah bagi pemerintah maupun semua individu yang berada pada lingkungan terkait.
     Manfaat Dari Realisai Undang-Undang Penyiaran
1.    sistem stasiun berjaringan ini memiliki manfaat untuk menciptakan sistem penyiaran yang berkeadilan dan berpihak pada publik. Karena selama ini dominasi isi siaran televisi dipegang oleh para televisi yang berlokasi di Jakarta. Bahkan isi siarannya sudah sampai pada level menghegemoni.
2.    sistem berjaringan mampu mengakomodasi isi siaran lokal sehingga dapat menjadi pengerem terhadap isi siaran yang memiliki bias kultur, nilai, dan cara pandang orang yang tinggal di Jakarta. Dengan begitu ada terdapat ruang bagi masyarakat daerah untuk mengekspresikan hasrat, kepentingan, kultur, nilai, dan cara pandang orang daerah di ruang publik yang bernama penyiaran. Sehingga tercipta penyiaran yang berkeadilan mendudukan kepentingan daerah dan kepentingan Jakarta pada posisi yang setara dan sejajar.
3.    Dengan diberlakukannya sistem ini maka porsi iklan yang jumlahnya triliunan rupiah yang selama ini hanya dinikmati TV yang ada di Jakarta akan terditribusi ke televisi-televisi lokal yang ada di daerah. Dengan begitu, pemerataan ekonomi di bidang penyiaran akan terjadi.
4.    Pemerataan kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam bidang pertelevisian.

Pengaruh kultur masyarakat terhadap perkembangan TV local

a.    Konten
Primadona televisi lokal pada umumnya adalah program bermuatan lokal.Mulai dari berita, musik dan hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga potensi ekonomi lokal.Namun, dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian cepat, menghadirkan dan mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya hidup, terus membombardir alam pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi ciri kehidupan modern, dan memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan dibuat tergantung terhadapnya. Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran acara televisi yang negatif.Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru, agamawan, budayawan, memaksa seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun televisi lokal yang ingin mengangkat budaya daerah harus memiliki idealisme kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan budaya daerah harus menjalani kehidupan yang penuh risiko.Tingkat rating yang rendah, bisa mengakibatkan stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa diperkirakan jika kue iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal ini ini membawa sebuah dilema.
Dengan kekuatan itu, jika program positif semua, televisi lokal bisa menciptakan masyarakat berbudaya lebih baik.Masalahnya, seringkali tergoda uang, hingga meninggalkan idealisme.Bukan tak mungkin televisi lokal mengalami hal serupa.
Untuk FATIVI ,karena sadar bahwa meraka tidak akan bisa menyanigi konten stasiun televise nasional,mereka juga membuat program tentang berlandaskan kultur masyarakat minang itu sendiri. Di Padang ada dua kesenian yang sangat digandrungi, yaitu “rabab dan dendang pauh”.Sehingga mereka juga merealisasikan kedua budaya tersebut dalam bentuk acara “ galatiak dendang dan rabab se manyampaian “.Ini  juga merupakan perwujudtan dari visi dan misi FATIVI itu sendiri,FATIVI Berita ,Seni , dan Budaya.
b.    Finansial
Seperti halnya media massa lain, televisi lokal memiliki kekuatan sebagai penggerak ekonomi dan dinamika kebudayaan. Karena itu, televisi lokal sejak dini harus mampu menunjukkan idealisme yang jelas, tidak hanya berangkat dari idealisme komersial.
Stakeholders yang membangun sebuah perusahaan media elektronik harus lebih dulu mempunyai idealisme moral dan spiritual, sebelum sampai pada tingkatan komersial. Jika cita-cita itu tidak diperjelas sejak awal, akan mempengaruhi perjalanan program tayangan.
Apa pun bentuk idealisme stakeholders, sebuah media televisi harus digarap secara profesional. Dalam sistem kerja profesional harus jelas arah yang ingin dicapai.Program juga bisa ditata secara profesional, tidak setengah-setengah sehingga menjadi kabur dan kurang menarik. Belum lagi bagaimana tanggapan dari masyarakat atau pasar yang akan menjadi sasaran program itu.
Selain kepastian idealisme, idealnya keberadaan televisi lokal harus didukung sebuah jaringan yang kuat. Dengan jaringan kerja dan bisnis seperti itu, kehadiran sebuah televisi lokal nantinya tidak sekadar sebagai kelengkapan sebuah peradaban masyarakat kota, tetapi menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Tantangan terberat yang dihadapi oleh televisi lokal (swasta) sebetulnya adalah bagaimana menjamin kelangsungan hidup industri televisi lokal dalam konteks persaingan bisnis media. Kita tahu, kemunculan sebuah media, tentu akan mengancam (dan diancam) media lain. Persaingan ini tidak bisa dihindari, karena televisi lokal ini akan nimbrung dalam perebutan kue iklan yang selama ini diperebutkan oleh media cetak, radio, dan televisi.
Karena itu perlu antisipasi, bagaimana menciptakan persaingan yang sehat dan fair.Idealnya, persaingan mestinya dibangun pada konteks program, content, dan manfaat— bukan harga spot. Karena saya pernah mendengar informasi, harga spot iklan di sebuah televisi lokal ‘seharga’ spot iklan di radio. “Pasang iklan di televisi, harga radio!’
Materi iklan di tv biasa disebut tv commercials (tvc) atau “spot” yang dibedakan atas durasinya : 60’s, 30’s,15’s dan 10’s. Disamping spot iklan komersial, juga terdapat spot pelayanan masyarakat atau biasa disebut sebagai public service announcement (psa).
Ø  Time slot yang belum terjual merupakan atau disebut sebagai “inventory”.
Ø  Target penjualan  ditetapkan secara tahunan dan diuraikan dalam tiga bulanan,  bulanan dan mingguan.
Salah satu tugas penting dari manajer penjualan adalah menetapkan dan menyesuaikan harga iklan (time slot). Rumus umumnya,  harga iklan (tvc) merupakan hasil negosiasi , yang berhasil menjual paling banyak spot dengan harga tertinggi adalah pemenang.  Namun pedoman penjualan tetap harus dimiliki oleh setiap stasiun penyiaran komersial atau stasiun yang menyiarkan iklan, yakni berupa rate card. Harga yang tercantum dalam rate card inilah yang dalam prakteknya dinegosiasikan dengan pemberian diskon atau bonus tertentu dan fasilitas lainnya yang menarik bagi pemasang iklan.
Dari penjabaran  di atas dapat di tarik gambaran umum bagaiman susahnya sebuah stasiun tv lokal untuk bisa mendapatkan keuntungan finansial dari iklan . Ditambah lagi kultur masyarakat suatu daerah itu,seperti di Padang ,masyarakat pada umumnya belum mengenal fungsi iklan sebagai sebuah proses promosi  itu secara utuh .Mereka mengagap iklan hanya buang-buang uang.Dikarena ruang lingkup perusahaan yang kecil dan hasil nyata yang diproleh dari iklan. Ini terlihat dari tampilan iklan yang terkesan datar, dan seperti baliho saja  Ini berdampak lansung pada  tarif  iklan pada stasiun tv.
Kecilnya tarif  iklan per spot pada  stasiun tv ,berpengaruh pada kelangsungan stasiun tv itu sendiri.FATIVI, untuk mengurangi pembengkakan biaya operasional mereka hanya tanyang premer stiap harinya pada pukul 18.30-23.00,untuk tanyangan lainnya mereka merelay tanyangan stasiun tv lain ( ABN,TV E,SKYVINDO) yang terikat kerjasam dengannya.
3.    Eksistensi TV Lokal

Dalam konteks sosial budaya, televisi lokal bisa menjadi harapan dan “benteng terakhir” ketahanan bangsa. Selama ini kita merasakan serbuan kapitalisme global dan budaya luar begitu kuat menyeruak-masuk lewat televisi nasional yang bekerja sama dengan televisi asing.Televisi ini mempunyai ”dosa besar” dalam mengikis kebudayaan lokal, melalui gempuran acara yang membawa nilai-nilai yang tidak sesuai nilai-nilai yang dianut selama ini.
Gempuran acara televisi nasional yang negatif ini harus disikapi.Pada posisi ini, televisi lokal punya peluang membawa nilai-nilai luhur budaya daerah, dengan mengangkat budaya dan kearifan lokal (local genius) yang hidup dan berkembang di masyarakat. Di sana akan terjadi proses pembelajaran dan penanaman nilai-nilai (positif) budaya lokal. Televisi lokal menjadi harapan, Jika tidak ada orang yang memulai program televisi yang mengangkat budaya daerah, dikhawatirkan budaya itu akan makin luntur dan tidak dikenal generasi muda.


BAB III
Kesimpulan
Primadona televisi lokal pada umumnya adalah program bermuatan lokal.Mulai dari berita, musik dan hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga potensi ekonomi lokal.Namun, dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian cepat, menghadirkan dan mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya hidup, terus membombardir alam pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi ciri kehidupan modern, dan memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan dibuat tergantung terhadapnya.
Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran acara televisi yang negatif.Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru, agamawan, budayawan, memaksa seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun televisi lokal yang ingin mengangkat budaya daerah harus memiliki idealisme kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan budaya daerah harus menjalani kehidupan yang penuh risiko.Tingkat rating yang rendah, bisa mengakibatkan stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa diperkirakan jika kue iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal ini ini membawa sebuah dilema.
TV Lokal sangat penting untuk memiliki tenaga programming dan tenaga penjualan yang  kuat , terdidik dan terampil dibawah supevisi manajer program dan manajer penjualan yang menguasai bidangnya. Bagi stasiun yang tidak mau mengambil risiko rugi besar tentu telah mempersiapkan kedua kelompok tenaga tersebut jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak mengherankan bahwa stasiun televisi jaringan (TV Swasta Nasional) yang  tergolong sukses saat ini  - berpusat di Jakarta -   semuanya menggunakan jasa konsultan dan disupervisi tenaga ahli berpengalaman pada tahun-tahun awal pengoperasiannya. Mereka benar, karena bisnis televisi hanya memberikan dua opsi yaitu: untung besar atau rugi besar.